Sapardi Djoko Damono: Menyebarkan Kebaikan Melalui Puisi
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair angkatan lama yang mampu menjangkau berbagai kalangan dan usia. Di usia senjanya, ia berhasil memperkenalkan sastra, khususnya puisi, kepada generasi muda, termasuk di lingkungan sekolah.
Salah satu mantan muridnya, Reda Gaudiamo, yang kini dikenal sebagai penulis dan penyanyi, sering membawakan puisi-puisi Sapardi, terutama “Hujan Bulan Juni.” Lagu yang diadaptasi dari puisi ikonis ini selalu ditunggu-tunggu oleh penikmat seni dan sastra.
Meskipun Sapardi telah berpulang pada 19 Juli 2020, puisi “Hujan Bulan Juni” tetap hidup dan membangkitkan kenangan indah masa muda. Ditulis pada tahun 1989, puisi ini mencerminkan pengalaman Sapardi sebagai mahasiswa di Yogyakarta dan Surakarta. Ia menulisnya dalam satu kali duduk, bersamaan dengan puisi romantis lain berjudul “Aku Ingin,” yang juga telah dinyanyikan.
Reda, yang merupakan salah satu mahasiswanya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengaku tak bisa berhenti melantunkan puisi-puisi Sapardi. “Kami tidak berniat terus menyanyikan puisi, tapi selalu ada permintaan,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Ia merasa terikat karma karena pernah merekam puisi Sapardi menjadi album tanpa sepengetahuannya.
Menariknya, Sapardi tidak pernah marah ketika puisi-puisinya ‘dicolong’ oleh Reda dan teman-temannya. Sebagai seorang Guru Besar emeritus, ia justru bersyukur karyanya bisa dikenal luas berkat musikalisasi. “Seandainya sajak itu tidak dinyanyikan Reda, Anda tak akan mengenalnya. Siapa yang akan mengingat puisi di sudut koran sore jika tak dilagukan?” ungkap Sapardi dalam acara Asian Literary Festival 2016.
Musikalisasi puisi Sapardi bukan hal baru. Pada 1987, ia turut serta dalam program apresiasi sastra di kalangan siswa, di mana musik dipilih sebagai media pengantar yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam program tersebut, sekitar enam mahasiswa dilibatkan, dan puisi yang dilagukan tidak hanya karyanya sendiri.
Pada tahun 1990, album “Hujan Bulan Juni” yang sepenuhnya diambil dari puisi Sapardi pun lahir. Puisi-puisinya yang memiliki rima dan bahasa sederhana menjadi sangat populer, bahkan setelah mahasiswa lulus kuliah. Reda menjelaskan, “Puisinya Bapak memiliki rima, kata-katanya sederhana dan tidak panjang, tanpa dilagukan pun puisinya sudah berlagu.”
Salah satu contoh keindahan bahasa dalam puisi “Hujan Bulan Juni” adalah sebagai berikut:
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sejak dimusikalisasi, “Hujan Bulan Juni” telah mengalami alih wahana beberapa kali, mulai dari puisi ke novel pada 2015, dan kemudian menjadi film pada 2017. Puisi ini juga menginspirasi sutradara Kamila Andini untuk membuat film berjudul “Yuni” pada tahun 2021, menggambarkan keheranan Sapardi terhadap anomali cuaca di bulan Juni.
Dengan begitu, warisan Sapardi Djoko Damono melalui puisi terus hidup dan menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa kebaikan dapat disebarkan melalui karya seni yang mendalam.
sumber : Indonesiakaya.com
Share this content: