Sarung Samarinda
Helloindonesia.id – Kerajinan tenun Sarung Samarinda pada awalnya dibawa para perantau Bugis dari Sulawesi yang tinggal di pesisir Sungai Mahakam, tepatnya di Kampung Pamanah, Gang Pertenunan, Samarinda Seberang. Berada jauh dari tanah leluhur tidak membuat perempuan Bugis melupakan tradisinya. Sambil menunggu suami-suami mereka pulang dari bekerja serta mengasuh anak-anak, mereka memanfaatkan waktu dengan menenun sarung. Sarung bermotif kotak-kotak yang mereka buat ternyata menarik perhatian orang-orang untuk membelinya.
Para pengrajin mengenal dua teknik dalam menenun Sarung Samarinda, yaitu dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan dengan cara tradisional yang disebut dengan walida. Pengrajin pendatang ini kabarnya sangat terampil dalam bertenun kain. Pembuatan satu sarung dari bahan baku memerlukan waktu sekitar satu pekan. Sedangkan proses menenunnya memerlukan waktu sekitar tiga hari.
Ciri khas Sarung Samarinda adalah bahan bakunya yang menggunakan sutera yang khusus didatangkan dari Cina. Sebelum ditenun, bahan baku sutera masih harus menjalani beberapa proses agar kuat saat dipintal. Proses pertama adalah merendam bahan baku dalam air selama tiga hari. Setelah itu dimasak dalam campuran air dan pewarna sampai mendidih selama sekitar dua jam. Lalu bahan baku dicuci hingga bersih dan langsung dikanji. Setelah dikanji, diperas, dan dijemur hingga kering, barulah bahan baku bisa dipintal menjadi benang tenun sutera. Untuk mendapatkan hasil yang baik, pemintalan harus dilakukan sehalus mungkin.
Sehelai sarung yang dihasilkan pengrajin biasanya memiliki lebar 80 centimeter dan panjang 2 meter. Dengan ukuran sarung sebesar itu pasti ada jahitan sambungan di bagian tengahnya yang dibuat dengan menggunakan tangan. Sarung asli tidak pernah disambung dengan menggunakan mesin jahit. Inilah salah satu cara untuk membedakan kain yang asli dari yang palsu atau buatan mesin pabrik.
Perbedaan lainnya adalah kain yang asli atau yang dibuat dengan ATBM biasanya terasa agak kasar tetapi sejuk saat dipakai. Kain palsu terasa halus namun saat dipakai terasa panas. Sementara sarung asli yang dibuat dengan teknik walida juga halus sekaligus terasa sejuk saat dipakai.
Kalau ingin lebih memastikan lagi mana sarung yang asli dan yang palsu, tariklah satu benang sarung dan bakar. Jika benang yang dibakar berubah menjadi seperti karet, berarti itu adalah sarung asli yang menggunakan benang sutera. Tapi kalau benang yang dibakar berubah jadi abu, sarung tersebut pasti dibuat dari benang kapas murahan. Pembeli memang harus berhati-hati saat membeli Sarung Samarinda karena sangat banyak beredar sarung palsu.
Sekarang sudah ada belasan kampung penenun yang berada di gang-gang yang berdekatan. Nama-nama kampungnya beragam, sesuai dengan kampung asal mereka di Sulawesi. Ada Kampung Wajo, Senglang, Sidrap. Sementara itu sejumlah galeri, toko, dan koperasi bermunculan menjual hasil kerajinan tenun Sarung Samarinda di sepanjang jalan raya Samarinda.
Jika menyusuri gang-gang pertenunan, mesin pintal dan tenun akan terlihat di halaman depan rumah penduduk. Sementara di samping dan emperan rumah, sarung yang masih basah oleh kanji sedang dijemur. Penggunaan kanji berfungsi agar sarung tampak baru dan awet.
Jika ingin memiliki Sarung Samarinda yang asli, sebaiknya membeli langsung atau memesannya di beberapa tempat suvenir di Samarinda. Harga Sarung Samarinda berkisar antar Rp 150.000 hingga Rp. 250.000. [TimIndonesiaExploride/IndonesiaKaya]
Share this content: