Guratan pada Batu Menginpirasi Kain Tenun Pinawetengan
Helloindonesia.id – Bagi masyarakat Minahasa, Pinawetengan bukan hanya sekadar seonggok batu yang tidak bermakna, batu besar yang ditemukan di dataran tinggi (tonduraken) ini merupakan titik awal dari kebudayaan Minahasa. Di batu besar itulah, leluhur dari berbagai sub etnis Minahasa berikrar untuk bersatu, dan menuliskannya pada batu dalam bentuk gambar dan guratan-guratan.
Setelah ditemukan pada 1888, gambar dan guratan-guratan yang ada pada Watu Pinawetengan kemudian diaplikasikan ke dalam berbagai media sebagai ciri khas Minahasa, salah satunya pada media kain tenun. Hal ini dilakukan tentu untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung pada gambar dan guratan-guratan Watu Pinawetengan.
Lili, salah seorang pengrajin kain tenun Pinawetengan yang ditemui di Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara, mengungkapkan, proses pembuatan kain tenun Pinawetengan dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan penkloasan benang, pembidangan, dan pembuatan pola. Pola yang sudah dibuat kemudian ditutup dengan cara diikat menggunakan tali rafia.
Pola yang terbentuk pada benang menjadi motif yang menyerupai beberapa guratan dan gambar di Watu Pinawetengan. Motif tersebut antara lain, motif Karema, Lumi’muut, dan Toar. Ketiga gambar ini merupakan representasi dari leluhur Minahasa. Uniknya gambar tersebut juga ditemukan di Gua Angano, Filipina. Selain itu, terdapat juga motif Lingkan Wene, yaitu motif yang menggambarkan dewi kesuburan, dan motif toar waktu masih bayi, motif ikan yang menunjukkan musim tertentu.
Setelah pola sudah terbentuk pada benang, benang tersebut kemudian masuk ke tahap pewarnaan. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan pengginciran dan pemaletan benang. Setelah itu barulah benang yang sudah diwarnai dimasukan ke dalam alat tenun ikat untuk disatukan menjadi kain tenun yang indah.
Untuk menghasilkan benang yang sudah terbentuk pola, para pengrajin kain tenun bisa menghabiskan waktu pengerjaan selama tiga minggu hingga satu bulan. Kemudian ketika masuk ke dalam proses penyatuan benang pada alat tenun ikat, para pengrajin bisa menghasilkan satu meter kain tenun per harinya.
Secara umum terdapat 4 jenis kain Pinawetengan, yaitu kain polyster, sifon, sutera, dan tenun. Perbedaan keempat jenis kain tersebut terletak pada benang yang digunakan. Perbedaan benang inilah yang mempengaruhi harga jual ke-empat jenis kain Pinawetengan.
“Satu pangkal kain tenun mempunyai panjang dua meter seperempat, satu meter kain tenun biasa dijual dua ratus ribu. Beda dengan kain songket, kain songket satu meter satu juta. Kain songket lebih mahal karena menggunakan benang sutera yang bahan bakunya langsung dipasok dari Bali.” tutur Lili menambahkan.
Para pecinta kain songket dan tenun biasanya langsung datang ke Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara untuk mendapatkan kain tenun Pinawetengan. Kebanyakan mereka berasal dari wilayah Minahasa sendiri, selain juga banyak dari luar daerah dan bahkan dari luar negeri.
soruce indonesiakaya
-
PSSI Kirim Surat Protes ke AFC dan FIFA Terkait Kepemimpinan Wasit di Laga Indonesia Vs Bahrain
PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) mengumumkan rencana untuk mengirimkan surat protes kepada AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) dan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional) terkait keputusan wasit di pertandingan timnas Indonesia melawan Bahrain. Pernyataan ini disampaikan oleh Anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Nasional Bahrain pada 10 Oktober 2024, dipimpin oleh…
-
Garuda Muda Siap Berkibar di Bahrain
Timnas Indonesia akan menghadapi ujian berat saat bertandang ke Bahrain dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026. Pertandingan yang akan digelar di Bahrain National Stadium pada Kamis (10/10) dini hari WIB ini diprediksi akan berjalan sengit. Rekor Pertemuan dan Tantangan Berat Rekor pertemuan kedua tim cenderung lebih menguntungkan Bahrain. Namun, sepak bola selalu penuh kejutan. Pelatih…
-
Kualitas Pendidikan Indonesia di Ujung Tanduk: Viralnya Video Pelajar yang Bikin Geleng-geleng Kepala
Belakangan ini, jagat media sosial dihebohkan oleh video-video viral yang menampilkan pelajar Indonesia kesulitan menjawab pertanyaan dasar tentang pengetahuan umum. Mulai dari tidak tahu negara-negara di Eropa hingga tidak paham kepanjangan MPR, fenomena ini mengundang keprihatinan publik. Apakah Indonesia Emas 2045 masih bisa kita raih jika kualitas pendidikan kita seperti ini? Mengapa Hal Ini Terjadi?…
-
Menelisik Sejarah Erupsi Besar Merapi di Museum Mini Sisa Hartaku
Di balik keganasan Gunung Merapi, tersimpan kisah haru tentang semangat manusia. Museum Mini Sisa Hartaku adalah saksi bisu dari peristiwa erupsi dahsyat tahun 2010. Bangunan sederhana yang penuh kenangan ini menjadi rumah bagi koleksi benda-benda yang terdampak erupsi, sekaligus menjadi simbol kekuatan dan keteguhan masyarakat sekitar. Isi: Penutup: Museum Mini Sisa Hartaku adalah lebih dari…
-
Yogyakarta: Antara Pesona Budaya dan Gangguan Kondusivitas
Kunjungan Speed ke Indonesia, khususnya di Yogyakarta, Bali, dan Kota Tua, telah menyajikan gambaran yang menarik tentang bagaimana antusiasme penggemar dapat bervariasi di setiap daerah. Ketiga kota ini, masing-masing memiliki daya tarik budaya yang unik, namun dalam hal penanganan penggemar, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Perbandingan Yogyakarta, Bali, dan Kota Tua Faktor Penyebab dan Dampak…
-
FEBIS Week 2024: Ajang Kreativitas Ekonomi untuk Masa Depan Berkelanjutan
FEBIS Week 2024 adalah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS) Universitas Matana. Acara ini ditujukan untuk siswa-siswi SMA/SMK dan menjadi wadah bagi mereka untuk belajar tentang dunia bisnis dan ekonomi secara lebih mendalam. Tema untuk FEBIS Week tahun ini adalah “Creative Economy for Sustainable Development” atau “Ekonomi Kreatif untuk…
Share this content: