Demokrasi Menurut Soekarno

Helloindonesia.id – Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu artinya adalah demokrasi Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam bukunya, Indonesia Menggugat dan Dibawah Bendera Revolusi, yang secara eksplisit terinspirasi oleh pergerakan kemerdekaan yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dari perjuangan oleh tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[

soekarno & JF kennedy | Sumber https://www.indonesia-investments.com

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu “pemerintahan rakyat”. Lebih lanjut lagi, bagi Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan dan dikonsepsikan oleh Soekarno tidak ingin “meniru” demokrasi modern yang lahir dari Revolusi Prancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis, demokrasi yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.[ Oleh karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia.

Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep pemikirannya, yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika masih belajar Bandung pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang disebut sebagai “Trisila”, yaitu:[

  • Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.
  • Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah bukan semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.
  • Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap rakyat Indonesia adalah manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apapun agamanya.

Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila kedua dalam Trisila Marhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut Soekarno adalah suatu sistem demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-demokrasi yang diinginkan oleh Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari nilai-nilainya pada seluruh masyarakat, bukan hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal ini Soekarno mengkritik demokrasi Prancis dan demokrasi Amerika Serikat yang menurut Soekarno hanya mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu kelompok borjuis, atau sederhananya, Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.[

Masih dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh tentang konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi politik dan juga demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi yang berlaku di Eropa pasca-Revolusi Prancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah suatu sistem demokrasi keterwakilan dalam sebuah lembaga parlemen, – Soekarno menyebutnya parlementaire democratie dan politieke democratie – Soekarno melihat bahwa nilai-nilai demokrasi itu memang diterapkan saat pemilihan anggota parlemen, namun bagi Soekarno demokrasi politik Eropa itu hanya berhenti sampai di parlemen saja, sementera dalam bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai demokrasinya, yang menyebabkan banyaknya kemiskinan – dan untuk permasalahan ekonomi itu Soekarno menyalahkan demokrasi politik yang justru mendukung berkembangnya kapitalisme.[

Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang, artinya demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang menghendaki adanya pemberian hak-hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta suatu kemerataan. Kemerataan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan kemerataan ekonomi dalam sistem komunisme yang menghilangkan hak milik pribadi,[ tetapi suatu kemerataan dimana semua hak kepemilikan pribadi – Soekarno menyeburnya sebagai privaatbezit – seluruh rakyat dijamin oleh negara, dalam hal ini parlemen yang merupakan hasil dari demokrasi politik berperan untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak kepemilikan pribadi semua orang melalui suatu pembuatan peraturan atau hukum yang adil bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik dari kelas borjuis ataupun proletar – termasuk juga kelas masyarakat yang memiliki harta benda sedikit atau yang disebut Soekarno sebagai marhaen.[

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia yang dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara bagi Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila – meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih suka disebut sebagai “penggali Pancasila”. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata mengenai konsespsi demokrasi yang Soekarno tawarkan adalah sebagai berikut:[

“Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng (yang artinya): Nationalism, Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan apa?): Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang – pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demokratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?”[

}}Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang tidak hanya politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan cara menjadikan “kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-prinsip “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin Indonesia menjadi negara demokrasi liberal seperti di Barat, yang masyarakatnya kapitalistik, Soekarno ingin Indonesia menjadi negara demokrasi yang masyarakatnya sosialistik, artinya bahwa demokrasi bukan hanya pada kebebasan dalam politik, seperti bebas berbicara, bebas memilih, dan bebas berserikat dalam organisasi apapun, tetapi juga demokrasi yang mampu mengalokasikan seluruh sumber daya ekonomi kepada seluruh rakyat atau sederhadanya kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan terhadap kemiskinan.[

Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21 Februari 1957. Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang saat itu diterapkan di Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai demokrasi Barat yang mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi itu kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong Royong dengan kepemimpinan yang terpusat dan integralistik.[

Share this content: